Produk
produk di bawah ini sudah berdiri sejak era 1900 an, kita juga belum
lahir. Sangat hebat, industri produk produk ini laris jaya hingga
puluhan tahun dan masi bertahan hingga sekarang.
Permen Davos [1931]
Soeyati
Soekirman tak pernah luput membawa Davos. Nenek 68 tahun warga
Banyumas ini sudah puluhan tahun menggemari permen itu. ”Orang-orang
tua memang konsumen loyal kami,” kata Nicodemus Hardi, Managing
Director Operasional PT Slamet Langgeng, produsen permen Davos. Permen
ini dirintis oleh Siem Kie Djian pada 28 Desember 1931. Lokasi
pabriknya tetap sama hingga kini: Jalan Ahmad Yani 67, Kelurahan
Kandang Gampang, Purbalingga, Jawa Tengah. Perusahaan dilanjutkan
anaknya, Siem Tjong An. Enam tahun berikutnya, bisnis diteruskan lagi
ke anak dan menantu Tjong An: Toni Siswanto Hardi dan Corrie
Simadibrata. Kini perusahaan tersebut dipimpin oleh Budi Handojo Hardi,
generasi ketiga pendiri bisnis ini.
Wajik Week [1939]
Semula,
pada 1939, Nyonya Ong Kiem Lien hanya memasak kue untuk dijual ke
tetangga. Ada wajik, onde-onde, keripik tempe, rempeyek kacang, dan
jadah (kue dari ketan dan kelapa parut). Usaha ini dilanjutkan oleh
anaknya, Ong Gwek Nio, yang kemudian hanya berkonsentrasi pada wajik.
Siroop Tjap Buah Tjampolay [1936]
Rasanya sedap, baoenja wangi. Itulah yang tertera dalam kemasan sirup Tjap Buah Tjampolay. Minuman legendaris asal Cirebon ini pertama kali dibuat oleh Tan Tjek Tjiu pada 11 Juli 1936. Hingga kini kemasan dan labelnya tak berubah.
Sarang Sari [1934]
Botolnya
hijau, mirip botol bir. Tulisan dalam kemasannya tak berubah sejak 75
tahun lalu: Limonadestroop. Sarang Sari, begitulah nama sirup berbotol
serupa bir itu, bertahan di tengah gempuran minuman berkarbonat. Cikal
bakal sirup ini dimulai dari De Wed Bijlsma, pengusaha asal Groningen,
Belanda, yang mendirikan NV Conservenbedrijf de Friesche Boerin pada
1934.
Ting-ting Jahe [1935]
Njoo
Tjhay Kwee menunggang sepeda pancal mengitari Pasuruan. Kala itu,
tahun 1935, Njoo sedang merintis usaha kembang gula Sin A di Pasuruan,
Jawa Timur. Kisah ini dituturkan Dyah Purwaningsih, General Manager PT
Sindu Permata, perusahaan yang memproduksi ting-ting jahe. Ayu adalah
cucu Njoo alias generasi ketiga pemilik perusahaan ini.
Tahu Yun Yi [1940]
Dalam
bahasa Mandarin, yun yi artinya bermanfaat atau beruntung. Perusahaan
tahu yang didirikan pada 1940 itu memang beruntung masih eksis hingga
kini. Bisnis tahu Yun Yi dirintis oleh Liauw Hon Tjan di Jalan Jenderal
Sudirman Belakang 231, Bandung. Pabrik tahu ini tak pernah berpindah
hingga sekarang.
Teh Cap Botol [1940]
Ribuan
botol plastik hijau itu bergerak dalam irama teratur di atas jalur
roda berjalan. Lalu, plop, plop, plop: letupan mesin memasangkan
plastik kemasan ke satu per satu botol yang berisi teh amat panas.
Antrean lantas menjalar ke mesin berikut yang memasangkan tutup botol.
Dari sini jalur roda bergerak lagi menuju pengemasan akhir. Maka
jadilah teh botol merek Joy Tea Green, yang siap dikirim ke jutaan
konsumen di seluruh Indonesia serta mancanegara.
B29 [1930]
Pasar
Pagi Jakarta, akhir 1930-an. Sekumpulan ibu-ibu yang sedang belanja di
Toko Sewu Gunawan meriung bicara soal sabun. Sabun Cap Tangan, produk
Unilever—ketika itu satu-satunya sabun cuci yang beredar di
pasar—mendadak langka. Jikapun ada, harganya mahal. Para ibu mengeluh:
mereka tak bisa mencuci baju, piring, bahkan mandi.
Dji Sam Soe [1913]
Rumah
kuno itu tak lagi berpenghuni. Pagarnya tertutup seng. Ketika
didatangi Tempo tiga pekan lalu, tampak empat petugas bergantian
menjaga rumah. Di rumah inilah Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna,
mengawali sejarah pada 1927.
Beralamat di Jalan Ngaglik, Surabaya, rumah ini—selain menjadi tempat tinggal—dulunya berfungsi sebagai gudang tembakau dan pabrik rokok. Selama lima tahun Seeng Tee menguji berbagai campuran rempah dan cengkeh di rumah ini. Dji Sam Soe salah satu produknya. Dari rumah ini pula Dji Sam Soe mulai diproduksi secara masif.
Beralamat di Jalan Ngaglik, Surabaya, rumah ini—selain menjadi tempat tinggal—dulunya berfungsi sebagai gudang tembakau dan pabrik rokok. Selama lima tahun Seeng Tee menguji berbagai campuran rempah dan cengkeh di rumah ini. Dji Sam Soe salah satu produknya. Dari rumah ini pula Dji Sam Soe mulai diproduksi secara masif.
Kopi Warung Tinggi [1878]
Beberapa kali berhenti berproduksi, tetap hidup berkat kepercayaan pelanggan. Dulu resep lisan, kini tersimpan di komputer.
BATAVIA, 1878. Restoran di tepian Moolen Vliet Oost—kini Jalan Hayam Wuruk— Jakarta, itu berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Tampak lebih bagus, lebih besar, dan tinggi. Masyarakat di tepian Ciliwung lalu menyebutnya Waroeng Tinggi. Adalah Liaw Tek Soen, perantau asal Tiongkok, yang membangun warung itu bersama istrinya.
BATAVIA, 1878. Restoran di tepian Moolen Vliet Oost—kini Jalan Hayam Wuruk— Jakarta, itu berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Tampak lebih bagus, lebih besar, dan tinggi. Masyarakat di tepian Ciliwung lalu menyebutnya Waroeng Tinggi. Adalah Liaw Tek Soen, perantau asal Tiongkok, yang membangun warung itu bersama istrinya.
Kecap Bango [1928]
Kemasan diremajakan, rasa dipertahankan, penetrasi pasar diperkuat. Jurus inovatif memperpanjang umur.BANGO itu terbang tinggi. Dari jago lokal, dia menjadi bintang di tingkat nasional. Bermula dari pojok kampung di daerah Benteng, Tangerang, pada 1928, kini sang Bango mudah dijumpai di toko kelontong di hampir seluruh penjuru Indonesia. Delapan puluh satu tahun silam, suami-istri Tjoa Pit Boen (Yunus Kartadinata) dan Tjoa Eng Nio mengawali cikal bakal Kecap Bango di rumah mereka di Benteng. Sayang, jejak awal sudah amat samar. Napak tilas Tempo di kawasan Benteng tak menemukan sarang pertama sang Bango.
BATA
Berjam-jam
sepatu berbahan kanvas itu mengendap di ember penuh air. Basah kuyup,
tapi tetap baik kondisinya. Wilfried Tampubolon, pemilik sepatu itu,
cuma bisa memandanginya dengan kecewa. Pupus harapannya untuk mendapat
sepatu baru. ”Dua tahun sepatu saya tidak diganti, makanya sepatu itu
sengaja saya rendam,” kata Wilfried tertawa mengenang kenakalannya
semasa kanak-kanak. Ibunya hanya mau membelikan sepatu baru kalau
sepatu lama sudah rusak.
Batik Oey Soe Tjoen (1925)
Pembuatan
selembar batik Oey Soe Tjoen bak ritual panjang. Awalnya, Muayah,
pekerja di situ, menggoreskan lilin pada motif daun. Ia lalu
menyerahkan hasil kerjanya kepada sang bos, Widianti Widjaja, yang lalu
memeriksanya dengan teliti. Bila dianggap oke, kain akan diambil alih
pekerja lain. Ia meneruskan pekerjaan untuk motif lain.
0 komentar:
Posting Komentar